BERITA24.CO.ID
Bandar lampung, 2 Juni 2025 – Kasus kekerasan dan pembungkaman korban yang terjadi di lingkungan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Lampung bukan hanya mencoreng nama baik institusi pendidikan, melainkan juga menggambarkan kegagalan struktural dalam menciptakan ruang aman dan adil bagi mahasiswa.
Kejadian ini bukan sekedar insiden internal, tetapi bentuk nyata dari bagaimana kekuasaan dapat bekerja menindas, membungkam, dan menghalangi keadilan
jika tidak ada keberanian untuk melawan. Dalam semangat untuk mengakhiri siklus kekerasan dan membungkam suara korban, Aliansi FEB Menggugat bersama Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Lampung telah mengambil langkah serius untuk menyuarakan kasus ini ke ruang publik dan ke jenjang pemerintahan.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban kolektif serta keprihatinan mendalam terhadap kondisi yang mencemaskan ini, kami secara resmi telah menyampaikan laporan kasus ini kepada Gubernur Lampung.
Dalam pelaporan tersebut, kami menjelaskan secara rinci perihal terjadinya kekerasan dalam sebuah kegiatan kemahasiswaan yang berlangsung di bawah naungan Organisasi Mahasiswa (ORMAWA) FEB UNILA yaitu Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKM-F) Mahasiswa Ekonomi Pecinta Lingkungan (MAHEPEL), yang sayangnya tidak hanya mengandung unsur kekerasan fisik dan psikis, tetapi juga diikuti dengan upaya sistematis untuk membungkam suara korban.
Pembungkaman ini, menurut temuan kami, melibatkan berbagai aktor di lingkungan kampus, termasuk pihak dekanat, yang seharusnya menjadi garda depan dalam melindungi mahasiswa dari kekerasan.
Namun kenyataannya, mereka justru diduga aktif terlibat dalam praktik obstruction of justice, yakni menghalang-halangi korban dan saksi untuk bersuara, serta mencoba menutupi pelanggaran yang terjadi.
Gubernur Lampung merespons laporan kami dengan serius.
Beliau menyampaikan bahwa kasus ini tidak bisa dianggap sepele dan harus ditindaklanjuti dengan mekanisme yang adil dan transparan.
Dalam komitmennya untuk mengawal proses penegakan keadilan, Gubernur telah melaporkan kasus ini kepada Ibu Ruby Aryati, anggota Komisi X DPR RI Dapil Lampung, yang secara kelembagaan memiliki kewenangan dalam bidang pendidikan dan perlindungan terhadap generasi muda.
Langkah ini merupakan titik terang awal bahwa negara, dalam hal ini pemerintah daerah dan legislatif, mulai membuka mata terhadap praktik kekerasan dan pembungkaman di lingkungan pendidikan tinggi.
Tidak berhenti sampai di sana, Gubernur juga menyampaikan kepada kami bahwa ia telah meminta Kapolda Lampung, Irjen. Pol. Helmy Santika, untuk menangani kasus ini secara langsung.
Penegasan dari Gubernur kepada pihak kepolisian merupakan bentuk pengakuan bahwa masalah ini menyangkut aspek pidana dan tidak bisa diselesaikan hanya dalam lingkup administratif kampus.
Keterlibatan Kepolisian Daerah (POLDA) Lampung menjadi penting mengingat pola-pola kekerasan yang terjadi tidak bisa dibiarkan mengakar sebagai budaya organisasi, apalagi jika kemudian dibenarkan atau dilindungi oleh birokrasi kampus sendiri.
Untuk itu, kami mendesak Kapolda agar segera mengambil tindakan konkret dalam penyelidikan, penegakan hukum, dan perlindungan terhadap para korban.
Kami menuntut agar aparat penegak hukum tidak hanya menindak pelaku langsung, tetapi juga mereka yang terlibat dalam menutupi, membiarkan, atau bahkan menginisiasi upaya pembungkaman terhadap para korban.
Dalam perkembangannya, pihak kampus membentuk tim investigasi internal yang diklaim akan mengusut kasus ini secara independen.
Namun, kami menyampaikan secara tegas bahwa kami meragukan integritas dan independensi tim investigasi yang dibentuk oleh pihak kampus tersebut.
Hingga saat ini, tidak ada komitmen yang jelas terkait waktu pelaksanaan investigasi, ruang lingkup kerja, atau mekanisme pertanggungjawaban publik dari tim tersebut.
Kami sudah beberapa kali menyampaikan permintaan timeline dan transparansi proses, namun tidak pernah diberikan kejelasan.
Ketidakjelasan ini memperkuat kekhawatiran kami bahwa keberadaan tim investigasi tersebut hanya bersifat kosmetik, dibentuk semata-mata untuk meredam tekanan publik dan menciptakan narasi yang membebaskan birokrasi kampus dari tanggung jawab.
Kecurigaan ini bukan tanpa dasar, sebab dalam pernyataan resmi Dekan FEB yang sempat beredar di media, sudah terdapat indikasi bahwa pihak dekanat berharap hasil investigasi akan memperkuat posisi bahwa mereka tidak bersalah dalam kasus ini.
Pernyataan seperti ini telah mencederai prinsip netralitas investigasi dan justru menunjukkan bahwa sejak awal tim ini dibentuk bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk mengamankan citra institusi.
Kami juga menyampaikan bahwa berdasarkan dokumen-dokumen yang beredar, terdapat bukti jelas mengenai struktur perizinan kegiatan yang menjadi latar belakang kasus kekerasan ini. Dalam dokumen tersebut, tercantum nama-nama yang secara kelembagaan bertanggung jawab atas jalannya kegiatan, termasuk Ketua Pelaksana, Sekretaris Pelaksana, Ketua Umum Lembaga Mahasiswa yang bersangkutan, Dosen Pembimbing Lembaga, hingga Wakil Dekan III FEB UNILA. Kami menegaskan bahwa seluruh pihak yang menandatangani atau mengesahkan kegiatan ini, dan yang mengetahui adanya praktik kekerasan namun tidak mencegah atau melaporkan, harus dimintai pertanggungjawaban moral, administratif, dan hukum. Tidak ada ruang untuk impunitas.
Semua pihak yang terlibat harus menghadapi proses evaluasi yang jujur dan transparan.
Dalam kasus ini, kelalaian adalah bentuk keterlibatan.
Sayangnya, alih-alih melindungi korban, justru ada indikasi bahwa pihak dekanat FEB UNILA melakukan tekanan dan pembungkaman terhadap korban yang berani bersuara.
Tindakan tersebut, dalam perspektif hukum dan etika, adalah bentuk obstruction of justice yang sangat serius.
Pembungkaman terhadap korban kekerasan bukan hanya bentuk kekerasan kedua (reviktimisasi), tetapi juga bentuk sabotase terhadap sistem keadilan. Dalam konteks ini, dekanat tidak hanya abai, tetapi juga diduga aktif menjadi bagian dari sistem pelindung pelaku kekerasan.
Aliansi FEB Menggugat bersama BEM UNILA menolak tunduk pada atmosfer represif ini.
Kami hadir bukan untuk membuat gaduh, tetapi untuk menegakkan keadilan dan membongkar budaya kekerasan yang terus-menerus disapu ke bawah karpet.
Kami menolak kampus menjadi tempat di mana kekuasaan digunakan untuk membungkam, bukan melindungi.
Oleh karena itu, kami menyerukan agar organisasi mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan ini segera dibekukan, sebagai langkah konkret untuk mencegah terulangnya kasus serupa.
Pembekuan ini adalah bentuk pembersihan ruang kemahasiswaan dari organisasi yang tidak mampu menciptakan sistem pengawasan dan perlindungan terhadap anggotanya sendiri.
Kami juga menegaskan bahwa dekanat yang terbukti melakukan pembungkaman atau melindungi pelaku kekerasan harus diberikan sanksi. Dekanat adalah perpanjangan tangan rektorat dalam menjamin keamanan, keadilan, dan keberlanjutan pendidikan yang sehat. Ketika dekanat justru berkontribusi terhadap kekerasan, maka mereka harus dipertanggungjawabkan. Tidak ada alasan bagi institusi untuk mempertahankan pejabat yang menghambat kebenaran demi citra.
Kami tidak menuntut permintaan maaf seremonial, melainkan langkah konkret berupa sanksi administratif, etis, dan jika perlu, pidana.
Dalam konteks kampus, di mana sistem hierarki dan birokrasi seringkali menekan keberanian untuk berbicara, solidaritas adalah satu-satunya kekuatan yang bisa menghancurkan ketakutan.
Kami mengajak seluruh mahasiswa, alumni, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan media untuk bersatu dalam menolak kekerasan dan pembungkaman.
Kami mengundang semua pihak untuk menjadikan kampus sebagai tempat belajar yang adil, terbuka, dan berpihak pada korban.
Kami juga berharap media massa dapat berperan secara aktif dalam mengawasi perkembangan kasus ini dan menyebarluaskan informasi secara jujur dan bertanggung jawab, agar masyarakat tahu bahwa keadilan sedang diperjuangkan, bukan disembunyikan.
Tekad kami sederhana: tidak akan ada lagi korban yang dibungkam, tidak akan ada lagi pelaku yang bebas, dan tidak akan ada lagi kampus yang bersembunyi di balik birokrasi untuk menutupi pelanggaran. Kami akan terus bersuara hingga keadilan ditegakkan.
Kami tidak akan diam sampai seluruh yang terlibat diberi sanksi. Kami tidak akan berhenti hingga sistem kampus dibersihkan dari budaya kekerasan dan ketakutan.
Ini adalah perjuangan panjang, tetapi kami tahu kami tidak sendiri. Kami percaya pada solidaritas. Kami percaya pada kebenaran.
Dan kami percaya bahwa mahasiswa tidak boleh takut di tempat ia seharusnya belajar untuk berpikir dan bersuara.
Bandar lampung, 2 Juni 2025
Kasus kekerasan dan pembungkaman korban yang terjadi di lingkungan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Lampung bukan hanya mencoreng nama baik institusi pendidikan, melainkan juga menggambarkan kegagalan struktural dalam menciptakan ruang aman dan adil bagi mahasiswa.
Kejadian ini bukan sekedar insiden internal, tetapi bentuk nyata dari bagaimana kekuasaan dapat bekerja menindas, membungkam, dan menghalangi keadilan
jika tidak ada keberanian untuk melawan. Dalam semangat untuk mengakhiri siklus kekerasan dan membungkam suara korban, Aliansi FEB Menggugat bersama Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Lampung telah mengambil langkah serius untuk menyuarakan kasus ini ke ruang publik dan ke jenjang pemerintahan.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban kolektif serta keprihatinan mendalam terhadap kondisi yang mencemaskan ini, kami secara resmi telah menyampaikan laporan kasus ini kepada Gubernur Lampung.
Dalam pelaporan tersebut, kami menjelaskan secara rinci perihal terjadinya kekerasan dalam sebuah kegiatan kemahasiswaan yang berlangsung di bawah naungan Organisasi Mahasiswa (ORMAWA) FEB UNILA yaitu Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKM-F) Mahasiswa Ekonomi Pecinta Lingkungan (MAHEPEL), yang sayangnya tidak hanya mengandung unsur kekerasan fisik dan psikis, tetapi juga diikuti dengan upaya sistematis untuk membungkam suara korban.
Pembungkaman ini, menurut temuan kami, melibatkan berbagai aktor di lingkungan kampus, termasuk pihak dekanat, yang seharusnya menjadi garda depan dalam melindungi mahasiswa dari kekerasan.
Namun kenyataannya, mereka justru diduga aktif terlibat dalam praktik obstruction of justice, yakni menghalang-halangi korban dan saksi untuk bersuara, serta mencoba menutupi pelanggaran yang terjadi.
Gubernur Lampung merespons laporan kami dengan serius.
Beliau menyampaikan bahwa kasus ini tidak bisa dianggap sepele dan harus ditindaklanjuti dengan mekanisme yang adil dan transparan.
Dalam komitmennya untuk mengawal proses penegakan keadilan, Gubernur telah melaporkan kasus ini kepada Ibu Ruby Aryati, anggota Komisi X DPR RI Dapil Lampung, yang secara kelembagaan memiliki kewenangan dalam bidang pendidikan dan perlindungan terhadap generasi muda.
Langkah ini merupakan titik terang awal bahwa negara, dalam hal ini pemerintah daerah dan legislatif, mulai membuka mata terhadap praktik kekerasan dan pembungkaman di lingkungan pendidikan tinggi.
Tidak berhenti sampai di sana, Gubernur juga menyampaikan kepada kami bahwa ia telah meminta Kapolda Lampung, Irjen. Pol. Helmy Santika, untuk menangani kasus ini secara langsung.
Penegasan dari Gubernur kepada pihak kepolisian merupakan bentuk pengakuan bahwa masalah ini menyangkut aspek pidana dan tidak bisa diselesaikan hanya dalam lingkup administratif kampus.
Keterlibatan Kepolisian Daerah (POLDA) Lampung menjadi penting mengingat pola-pola kekerasan yang terjadi tidak bisa dibiarkan mengakar sebagai budaya organisasi, apalagi jika kemudian dibenarkan atau dilindungi oleh birokrasi kampus sendiri.
Untuk itu, kami mendesak Kapolda agar segera mengambil tindakan konkret dalam penyelidikan, penegakan hukum, dan perlindungan terhadap para korban.
Kami menuntut agar aparat penegak hukum tidak hanya menindak pelaku langsung, tetapi juga mereka yang terlibat dalam menutupi, membiarkan, atau bahkan menginisiasi upaya pembungkaman terhadap para korban.
Dalam perkembangannya, pihak kampus membentuk tim investigasi internal yang diklaim akan mengusut kasus ini secara independen.
Namun, kami menyampaikan secara tegas bahwa kami meragukan integritas dan independensi tim investigasi yang dibentuk oleh pihak kampus tersebut.
Hingga saat ini, tidak ada komitmen yang jelas terkait waktu pelaksanaan investigasi, ruang lingkup kerja, atau mekanisme pertanggungjawaban publik dari tim tersebut.
Kami sudah beberapa kali menyampaikan permintaan timeline dan transparansi proses, namun tidak pernah diberikan kejelasan.
Ketidakjelasan ini memperkuat kekhawatiran kami bahwa keberadaan tim investigasi tersebut hanya bersifat kosmetik, dibentuk semata-mata untuk meredam tekanan publik dan menciptakan narasi yang membebaskan birokrasi kampus dari tanggung jawab.
Kecurigaan ini bukan tanpa dasar, sebab dalam pernyataan resmi Dekan FEB yang sempat beredar di media, sudah terdapat indikasi bahwa pihak dekanat berharap hasil investigasi akan memperkuat posisi bahwa mereka tidak bersalah dalam kasus ini.
Pernyataan seperti ini telah mencederai prinsip netralitas investigasi dan justru menunjukkan bahwa sejak awal tim ini dibentuk bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk mengamankan citra institusi.
Kami juga menyampaikan bahwa berdasarkan dokumen-dokumen yang beredar, terdapat bukti jelas mengenai struktur perizinan kegiatan yang menjadi latar belakang kasus kekerasan ini. Dalam dokumen tersebut, tercantum nama-nama yang secara kelembagaan bertanggung jawab atas jalannya kegiatan, termasuk Ketua Pelaksana, Sekretaris Pelaksana, Ketua Umum Lembaga Mahasiswa yang bersangkutan, Dosen Pembimbing Lembaga, hingga Wakil Dekan III FEB UNILA. Kami menegaskan bahwa seluruh pihak yang menandatangani atau mengesahkan kegiatan ini, dan yang mengetahui adanya praktik kekerasan namun tidak mencegah atau melaporkan, harus dimintai pertanggungjawaban moral, administratif, dan hukum. Tidak ada ruang untuk impunitas.
Semua pihak yang terlibat harus menghadapi proses evaluasi yang jujur dan transparan.
Dalam kasus ini, kelalaian adalah bentuk keterlibatan.
Sayangnya, alih-alih melindungi korban, justru ada indikasi bahwa pihak dekanat FEB UNILA melakukan tekanan dan pembungkaman terhadap korban yang berani bersuara.
Tindakan tersebut, dalam perspektif hukum dan etika, adalah bentuk obstruction of justice yang sangat serius.
Pembungkaman terhadap korban kekerasan bukan hanya bentuk kekerasan kedua (reviktimisasi), tetapi juga bentuk sabotase terhadap sistem keadilan. Dalam konteks ini, dekanat tidak hanya abai, tetapi juga diduga aktif menjadi bagian dari sistem pelindung pelaku kekerasan.
Aliansi FEB Menggugat bersama BEM UNILA menolak tunduk pada atmosfer represif ini.
Kami hadir bukan untuk membuat gaduh, tetapi untuk menegakkan keadilan dan membongkar budaya kekerasan yang terus-menerus disapu ke bawah karpet.
Kami menolak kampus menjadi tempat di mana kekuasaan digunakan untuk membungkam, bukan melindungi.
Oleh karena itu, kami menyerukan agar organisasi mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan ini segera dibekukan, sebagai langkah konkret untuk mencegah terulangnya kasus serupa.
Pembekuan ini adalah bentuk pembersihan ruang kemahasiswaan dari organisasi yang tidak mampu menciptakan sistem pengawasan dan perlindungan terhadap anggotanya sendiri.
Kami juga menegaskan bahwa dekanat yang terbukti melakukan pembungkaman atau melindungi pelaku kekerasan harus diberikan sanksi. Dekanat adalah perpanjangan tangan rektorat dalam menjamin keamanan, keadilan, dan keberlanjutan pendidikan yang sehat. Ketika dekanat justru berkontribusi terhadap kekerasan, maka mereka harus dipertanggungjawabkan. Tidak ada alasan bagi institusi untuk mempertahankan pejabat yang menghambat kebenaran demi citra.
Kami tidak menuntut permintaan maaf seremonial, melainkan langkah konkret berupa sanksi administratif, etis, dan jika perlu, pidana.
Dalam konteks kampus, di mana sistem hierarki dan birokrasi seringkali menekan keberanian untuk berbicara, solidaritas adalah satu-satunya kekuatan yang bisa menghancurkan ketakutan.
Kami mengajak seluruh mahasiswa, alumni, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan media untuk bersatu dalam menolak kekerasan dan pembungkaman.
Kami mengundang semua pihak untuk menjadikan kampus sebagai tempat belajar yang adil, terbuka, dan berpihak pada korban.
Kami juga berharap media massa dapat berperan secara aktif dalam mengawasi perkembangan kasus ini dan menyebarluaskan informasi secara jujur dan bertanggung jawab, agar masyarakat tahu bahwa keadilan sedang diperjuangkan, bukan disembunyikan.
Tekad kami sederhana: tidak akan ada lagi korban yang dibungkam, tidak akan ada lagi pelaku yang bebas, dan tidak akan ada lagi kampus yang bersembunyi di balik birokrasi untuk menutupi pelanggaran. Kami akan terus bersuara hingga keadilan ditegakkan.
Kami tidak akan diam sampai seluruh yang terlibat diberi sanksi. Kami tidak akan berhenti hingga sistem kampus dibersihkan dari budaya kekerasan dan ketakutan.
Ini adalah perjuangan panjang, tetapi kami tahu kami tidak sendiri. Kami percaya pada solidaritas. Kami percaya pada kebenaran.
Dan kami percaya bahwa mahasiswa tidak boleh takut di tempat ia seharusnya belajar untuk berpikir dan bersuara.